Penduduk desa yang tinggal di sisi Kalimantan Indonesia membunuh setidaknya 750 orangutan dalam setahun, sebagian untuk melindungi lahan pertanian dan yang lainnya untuk dimakan, demikian yang ditunjukkan dalam survei terbaru.
Praktek semacam ini, yang belum pernah diukur sebelumnya, sekarang diyakini menjadi ancaman yang lebih serius terhadap keberadaan kera merah daripada yang diperkirakan sebelumnya, lapor Erik Meijaard, penulis utama laporan yang muncul dalam jurnal PLoSOne.
Indonesia – rumah bagi 90 persen orangutan yang tersisa di alam – diselimuti hutan tropis yang lebat kurang dari 50 tahun yang lalu, namun setengah pepohonnya telah tersapu bersih sejak maraknya permintaan untuk pasokan kayu, kertas, dan baru-baru ini, kelapa sawit.
Akibatnya, sebagian besar dari 50.000 hingga 60.000 kera yang tersisa tinggal di hutan yang rusak, menempatkan mereka pada konflik dengan manusia dan seringkali mematikan.
“Tapi survei kami menunjukkan bahwa pembunuhan orangutan juga terjadi jauh di dalam kawasan hutan, di mana orangutan diburu sama seperti spesies lainnya,” kata Meijaard. “Ini mungkin kenyataan yang sungguh tidak nyaman, namun tidak bisa kita abaikan lagi.”
The Nature Conservancy bersama 19 organisasi swasta lainnya, termasuk WWF dan Asosiasi Pemerhati dan Ahli Primata Indonesia, melakukan survei untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pembunuhan orangutan dan penyebab yang mendasarinya.
Mereka mewawancarai 6.983 orang dari 687 desa di tiga provinsi Kalimantan – di sisi Kalimantan Indonesia, yang juga termasuk Malaysia dan Brunei – antara bulan April 2008 dan September 2009.
Angka dari wawancara diekstrapolasi menjadi populasi pria berusia 15 tahun dan yang lebih tua, karena hanya 11 wanita yang dilaporkan membunuh orangutan. Ini menunjukkan bahwa setidaknya 750 kera telah tewas selama tahun sebelumnya.
Neil Makinuddin, manajer program The Nature Conservancy, mengatakan bahwa mereka terkejut dengan sedemikian banyaknya responden yang dilaporkan membunuh dan kemudian memakan orangutan – lebih dari setengah.
Beberapanya dikonsumsi setelah dibunuh karena memasuki lahan pertanian atau karena orang takut terhadap hewan tersebut. Lainnya secara langsung diburu untuk mendapatkan daging mereka.
Bagaimanapun juga, para penulis studi dengan cepat menekankan bahwa warga yang mengaku membunuh orangutan mengatakan bahwa mereka hanya melakukannya sekali atau dua kali selama hidup mereka.
“Orangutan bukan bagian dari gizi harian untuk makanan rakyat,” kata Meijaard, seorang penasihat senior untuk People and Nature Consulting International.
Juru bicara Kementerian Kehutanan Indonesia, Ahmad Fauzi Masyhud, mengatakan bahwa pihaknya belum menerima laporan, yang digambarkan sebagai “bombastis.”
“Kami harus memeriksa kembali apakah itu benar atau tidak,” katanya. “Tapi terus terang saya meragukannya.”
Tapi Meijaard menghimbau saatnya untuk menghadapi fakta.
“Kami menggunakan metode ilmiah yang kuat untuk menilai dimensi sosial konservasi orangutan,” katanya. “Kecuali kita asumsikan bahwa sebagian besar responden survei berbohong, kita harus menerima isu perburuan sebagai sebuah kenyataan tidak nyaman yang perlu diatasi jika kita ingin menyelamatkan orangutan.”
Dia mengatakan bahwa dia sudah terlalu banyak melihat tengkorak, kulit dan potongan tangan orangutan, dan terlalu banyak mendengar langsung orang yang telah membunuh atau memakan orangutan; Mustahil untuk mempercayai bahwa pembunuhan hewan yang terancam punah itu tidak pernah terjadi.
No comments:
Post a Comment